Skip to main content

Pemotretan Berujung Ruqyah

Akutu gak bisa diginiin :(

 Hari ini, sesuai rencana yang telah kami sepakati, saya dan keluarga cemara KW 15 akan melakukan –istilah masa kini– pemotretan. Setelah rembug yang tidak mufakat yang kami lakukan di grup WA, disepakatilah bahwa kami tidak menyepakati apapun. Yang kami sepakati hanya titik kumpul kami ada di kantor PCNU.

Saya dan Bibeh berangkat pukul 2 siang. Hari itu di kantor PCNU sedang ada acara ruqyah massal bersama tim Joko Samudro Banyuwangi. Beberapa orang meminta saya agar di ruqyah. Agar apa? Agar penyakit mabukan saya itu hilang. Tapi, Senin pagi itu saya seperti pingsan, setelah pulang dari Surabaya. Saya baru bangun pukul setengah sepuluh pagi. Dan tentu masih agak teler. Saya juga tidak pernah ikut ruqyah, jadi agak nganu saat diajak ruqyah.

Sampailah saya dan Bibeh di PCNU yang ternyata masih banyak orang. Tim Joko Samudro masih belum beranjak dari kantor. Kami kemudian naik ke aula di lantai dua. Dari sana Mas Dani, Cholid, Fida dan Pak Haikal menyuruh saya dan Bibeh ikut ruqyah. Saya yang dari rumah sudah dandan rapi, cantik dan wangi tentu shock dong, gaes. Ini apa-apaan kok malah saya dan Bibeh disuruh ruqyah-ruqyahan.

Tidak lama setelah itu, Fiya dan Mbabila datang. Matilah kami semua akhirnya disuruh ikutan ruqyah. Pantas ketika saya chat di grup “Ruqyahe wis mari masdan?” Mas Dani dan Cholid kompak menjawab:

Sungguh lah kampret dua orang itu.

Dengan perasaan yang nggak bisa dijelaskan akhirnya saya, Fida, Bibeh, Fiya dan Mbabila baris di belakang para lelaki. Kami berdiri seperti pesakitan yang menunggu giliran untuk di eksekusi. Pak Ustadz menginstruksikan agar kami rileks. Saya mbatin, “Gimana bisa rileks, Pak Ustaaaat, saya ini mau pemotretan, wis dandan cantek lho ini, malah di ruqyah ruqyah.”

Kami sampai pada penjelasan dari Pak Ustadznya bahwa ruqyah ini bukan kesurupan-kesurupan seperti yang sering kita lihat di tv-tv itu. Ini adalah murni dzikir kita kepada Allah. Upaya meminta kesembuhan kepada Allah dengan metode Qur’ani. Saya diam saja menyimak. Ya sudah, lah. Wis kadhung arep kelendi maning?

Kami semua memegang keresek dan mulai menutup mata, sesuai instruksi. Mulailah Pak ustadz melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Tidak butuh waktu lama, saya merasakan mata saya menghangat. Entah di menit keberapa sejak Pak Ustadz membacakan kalam Allah itu, saya mulai ngiluh. Wajah saya menghangat. Beberapa menit kemudian saya mendengar suara sesenggukan dari sebelah saya. Entah itu Fida, Fiya, Bibeh atau Mbabila. Yang jelas suara sesenggukan seperti itu malah menjadi perangsang bagi saya untuk menangis. Yang tadinya hanya ngiluh akhirnya saya menangis. Dan pada dasarnya saya juga orang yang suka terharu ketika mendengar orang lain melantunkan ayat Al-Qur’an dengan suara merdu, melantunkan sholawat dengan suara merdu, menyanyikan lagu religi/rohani dengan suara merdu, apalagi kelak kamu bilang “Qabiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan...” dengan suara merdu, Mas. *halah

Hingga akhirnya, saya duduk selonjor, dengan mata masih terpejam. Tapi air mata dan umbel sudah nggak bisa di kendalikan, gaes. Kemudian saya dengar teman-teman saya pada jejeritan. Dalam kondisi seperti itu saya masih sadar dan mbatin, tapi masih dalam kondisi menangis, “Itu anak-anak diapain bisa sampe jejeritan begitu, sih.” Sumpah, gaes, mereka berisik banget. Wqwqwq.

Saya nggak bisa menjelaskan secara detail bagaimana kondisi tubuh saya waktu itu. Seluruh tubuh rasanya kram, bagian kepala berat, bagian wajah rasanya seperti tertarik. Dan yang ngeselin adalah ketika Pak Ustadz terus-terusan bilang, “Hayo, kamu siapa? Kamu siapa? Ayo ngomong, kamu siapa?” Aing Meydiana, Paaaaak. Saya ini masih sadar, nggak kesurupan apa-apa dan siapa-siapa. Saya bilang dah tuh akhirnya kalau saya ini masih sadar. Pak Ustadz terus membacakan kalam-kalam Allah. Dan anehnya, saya terus-terusan menangys. Ya Allah, ini sebenernya saya kenapaaa? Nangis mulu dah kek nonton Drama Koryaaa.

Dan part ngeselin lainnya adalah ketika saya disuruh mengeluarkan semuanya. Gak paham dah apa yang dikeluarin. Saya pegang keresek dan mulai huwak huwek kek buibu lagi hamil muda. Tapi nihil, gaes. Gak ada apapun yang keluar selain saliva dan air mata. Padahal, semalam saya masih bisa merasakan mual gara-gara terlalu banyak naik grab ketika di Surabaya. Saya mau banget muntah dan mengeluarkan segala rasa mual yang ada di perut. Ndilalah saat di ruqyah itu nggak ada satupun rasa mual yang saya rasakan. Apa nggak wakwaw?

Kresek masih gres, yang jatuh cuma air mata.

Saya nggak tahu saya di tangani oleh berapa orang, tapi sepertinya dua orang. Yang satu bertugas baca ayat Qur’an, satunya lagi mengurut bagian belakang saya. Eh, nggak tahu lagi, sih. Wong tiap saya buka mata selalu suruh merem lagi. Huft.

Setiap ayat Qur’an dibacakan saya selalu teringat pesan Pak Ustadz di awal tadi. Jadikan ini sebagai ikhtiar kita untuk sembuh dari segala macam penyakit. Entah itu penyakit malas, penyakit medis dan penyakit-penyakit hati lainnya. Saya ingat sekali Pak Ustadz mengucapkan penyakit medis. Jadi, selama proses ruqyah itu dalam hati saya hanya bisa bilang “Ya Allah” sambil mengingat benjolan yang ada di lengan kiri saya. Saya tidak pernah tahu itu benjolan apa, karena memang saya tidak pernah pergi ke dokter untuk periksa. Awalnya benjolan itu hanya saya rasakan satu. Namun lama-lama saya bisa merasakan benjolan itu melebar. Akhirnya saya menjadikan ruqyah pertama kali ini sebagai doa, semoga itu benjolan biasa, bukan apa-apa.

Beberapa saat kemudian tim Joko Samudro itu memberikan tissue pada saya. Agar mengusap seluruh ingus dan air mata kemudian di buang ke dalam kresek yang telah di siapkan tadi. Saya bisa merasakan mata saya berat, gaes. Mbendol nih pasti, batin saya. Apa kabar nasib pemotretaaaaan.
Saya kemudian bilang ke Pak Ustadznya, “Kalau saya nggak muntah apa berarti yang ada di tubuh saya ini nggak keluar, Ustadz?” geblek dah, ngapain juga saya nanya begitu. Ha emang dalam tubuh saya ini ada apanya?

“Ada banyak faktor. Sudah enteng? Ada yang berat?”

Ndilalah kaki dan tangan saya waktu itu masih berat. Ngeri-ngeri sedap kalo di inget, gaes. Tangan saya waktu itu beraaaaat banget. Saya disuruh pegang tasbih waktu itu. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Ini tangan susah banget buat pegang tasbih. Saya bisa dengar Pak Ustadz bilang, “Ooo iki.” sambil terus-terusan bilang, “Ayo keluar, saya hitung sampai tiga, jika tidak kamu akan terbakar oleh ayat-ayat suci Al-Qur’an.”

Pundak kiri saya di ketuk-ketuk, dan itu sakit bwanget rasanya. Saya sebal sendiri, kenapa kok telapak tangan saya nggak bisa digerakkan. Padahal saya dalam kondisi sadar, tapi tetap ngga bisaaaa :(

Akhirnya entah berapa lama saya bergulat dengan ruqyah itu, saya ditidurin, eh, maksudnya di baringkan di lantai. Kepala di urut kemudian hidung saya di tetesin cairan yang sumpah baunya nggak enak banget. Dari bau itu lah kemudian saya muntah. Sempat seneng juga, paling tidak rasa mual akibat insiden Surabaya itu bisa hilang. Tapi perspektif Pak Ustadz dan saya beda. Pak Ustadz mengira apa-apa yang di tubuh saya dah keluar dengan muntahnya saya tadi. Padahal mah saya muntah gara-gara gak tahan ma bau cairannya. Hiks.

Kemudian saya di interogasi oleh dua orang. Bapak sebelah saya bilang, “Mbak suka sedih, ya?” saya iya-in. Terus bapak bilang lagi, “Sedih kenapa?” saya jawab “Belum dapat jodoh, Ustaaadz” sambil ketawa.



Mari ruqyah malah judes, wqwqwq ~

Keluarga Cemara KW limolas after ruqyah.

Comments

Popular posts from this blog

Rabu Rasa Minggu

Kemarin setelah kuliah Donat tidak pulang ke rumahnya. Melainkan menginap di Banyuwangi, di tempatku. Satu alasan yang membuat Donat tidak pulang ke rumahya. Takut. Sabtu lalu Balokan (tempat tinggal Donat) di gegerkan oleh penemuan mayat dalam kantong plastik. Dan lokasi pembuangan itu berada di timur rumah Donat. Disebabkan alasan itulah Donat tak berani pulang ke Balokan malam-malam. Apalagi hari selasa jadwal kuliah kami hingga pukul sembilan. Sebenarnya jika Mbak Lela masuk kuliah semua akan baik-baik saja. Yah, minimal mereka berdua, nggak sendirian. Dan dikarenakan serangkaian acara bulan madu yang telah dipersiapkan, Mbak Lela akhirnya nggak kuliah. Mbak Lela dan suami akan ke Bali hari ini. Padahal ke Bali-nya masih hari Rabu, tapi nggak masuk kuliahnya mulai hari Sabtu. Dasar, manten baru :D Jadi begitulah, agak awkward ketika Donat menginap di weekday. Biasanya, kan, dia nginepnya hari Sabtu. Hari ini akhirnya aku melaksanakan cita-c

#BukuBagus: TITIK TEMU

Tidak banyak penulis buku fiksi yang gaya penulisannya betah aku baca berlama-lama, selain karena memang ya enggak banyak juga buku yang aku baca. Beberapa kali aku pernah bilang bahwa penulis buku favoritku adalah Pak Cik Andrea Hirata. Aku jatuh cinta pada tulisannya setelah mengenal film Laskar Pelangi. Bahkan buku beliau yang pertama kali kubaca bukan Laskar Pelangi, aku lupa yang mana. Yang jelas, Andrea Hirata masih menempati posisi puncak penulis buku favoritku. Berawal dari promo kemerdekaan dari Mojok Store, aku akhirnya bertemu dengan Ghyna Amanda. Penulis novel Titik Temu yang surprisingly aku sangat suka. Promo “Paket Tujuhbelasan” waktu itu menyediakan empat buku yang bisa dipilih berdasarkan tiga kategori. Kategori A (pilih satu buku), kategori B (pilih satu buku) dan kategori C (pilih dua buku). Kategori A aku pilih Life as Divorcee, kategori B aku pilih Childfree and Happy dan kategori C aku pilih Dubidubi Duma dan Titik Temu. Empat buku itu ditebus hanya seharga Rp 11

FEELING IS HEALING

Rasanya aku sudah menuliskan ini dimana-mana. Bahwa Desy adalah satu-satunya teman SD yang sampai saat ini masih rajin hangout bareng. Setelah lulus kuliah kami justru jadi semakin dekat. Ada saja celetukan perempuan itu yang membuatku tertawa. Desy ini tipe perempuan yang mudah mengekspresikan apapun yang dia rasakan. Kemarin kami ke Seling. Tidak ada jadwal pasti untuk hangout sebetulnya, karena kami sama-sama tipe manusia mager. Kalau enggak janjian dulu, jarang kami mau keluar dadakan. Seperti biasa, tidak banyak yang kami bahas. Pertemuanku dengan Desy bisa dibilang sebagai stress release. Hal-hal remeh temeh yang justru sering kami bahas. Dan, dia ini selalu akan mengungkit apa yang aku posting di twitterku. Adaaaaa aja bahan untuk menginterogasiku. Seperti satu twit yang aku buat beberapa waktu lalu, yang tentu saja akhirnya membuatku mengingat lagi waktu dulu. Aku menceritakan sedikit bab patah hati yang pernah aku lalui. Des, gini gini aku juga pernah patah hati keleus. "